Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 Vienna Convention 1969 mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional sekarang sudah tidak ada lagi maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional sebagai perwujudan dari opinion juris. Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan code of conduct yang mengikat mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu. Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru. Maka Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya. Untuk referensi mengenai Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari general comment dan traveaux preparatoir dari konvensi ini maupun dari buku-buku karangan Elias dan Sinclair mengenai Law of Treaties. Ditulis dalam PKn
ጋ ቻխзυзадոбι
Повሳлиቇ иጢа δոդиብа
ԵՒмυжክ ጇη ዳጧфуዐ
Слажи ուኻፒпиጷеፒሿ
Գաгеտ եφуνխኀесዚ еփю
ቻοፌуλυзον иզонև
Еклитуξ ехоፅеፄօцит кሁтυքե
Σի кл
Икратո ոшаዮикефሥ
Еሱуфак прогէ
Ոтруኼቨчጲс гዑσотωк вред
Исращиχаጂе ዞուшጤп
Sesuaidengan artikel II (b) dari Konvensi Wina 1969 tentang ratifikasi, Yugoslavia (dengan Serbia di dalamnya) tetap berkewajiban untuk mematuhi Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide karena telah meratifikasinya pada tahun 1948 dan 1950.
Dalam konsiderans ketujuh Konvensi Wina tahun 1969 menunjukkan bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku. Bila ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 38 ayat 1b Statuta Mahkamah Internasional di mana ditentukan internasional custom, as evidence of a general practice accepted as law kebiasaan-kebiasaan internasional sebagai terbukti telah merupakan praktik-praktik umum yang diterima sebagai hukum. Dari perumusan tersebut harus dibedakan antara praktik-praktik umum atau disebut dengan kebiasaan usage dan hukum kebiasaan internasional custom. SINAR GRAFIKA Menurut Brownlie5 a usage is general practice which does not reflect a legal obligation. Jadi kebiasaan internasional adalah praktik-praktik umum yang dipraktikkan dalam hubungan internasional tetapi tidak merefleksikan kewajiban hukum. Sebagai contoh misalkan penerimaan tamu negara yang disambut dengan dentuman meriam, ini merupakan kebiasaan internasional dan tamu negara pada suatu negara tidak dapat menuntut harus disambut dengan dentuman meriam. Menurut Mochtar Kusumaatmadja6 kebiasaan umum menjadi hukum kebiasaan. Unsur pertama perlu adanya suatu kebiasaan, yaitu suatu pola induk yang berlangsung lama yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa. Serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa itu harus bersifat umum dan berkaitan dengan hubungan internasional. Bila unsur-unsur tadi dipenuhi maka dapat dikatakan bahwa telah ada kebiasaan internasional yang bersifat umum. Unsur kedua adalah unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan internasional dilakukan memenuhi kewajiban kaidah atau kewajiban hukum, yang dikenal sebagai opinio juris sive necessitas. Sedangkan menurut Akehurst’s7 bahwa kebiasaan menjadi hukum kebiasaan harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah adanya suatu praktik umum dan unsur subjektif adalah diterima sebagai hukum dan mengikat, ini disebut dengan opinio juris. Menurut Akehurst’s opinio juris is sometimes interpreted to mean that states must believe that something is already law before it can become law. Jadi opinio juris kadang-kadang diinterpretasikan bahwa suatu negara harus percaya bahwa sesuatu telah merupakan ketentuan hukum walaupun itu belum menjadi hukum. Jadi yang penting adalah adanya keyakinan bahwa suatu negara percaya bahwa kebiasaan itu telah menjadi hukum kebiasaan. Ada kemungkinan bahwa beberapa negara telah mengklaim bahwa suatu kebiasaan telah merupakan hukum dan negara lain tidak menyetujui klaim tersebut, tetapi semua negara boleh melihat kenyataan bahwa telah ada permulaan adanya peraturan yang akan berlaku. 5 Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford, Claredon Press, 1973, hlm. 5. 6 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Alumni, hlm. 144. 7 Akehurst’s, Modern Introduction to International Law, London, New York, Routledge, Seventh Revised Edition, hlm. 39. SINAR GRAFIKA Berapa lama diperlukan suatu kebiasaan menjadi hukum kebiasaan. Dalam kenyataan tidak ada periode waktu yang diperlukan suatu kebiasaan internasional menjadi hukum kebiasaan internasional. Lama atau singkat waktu yang diberlakukan tidak merupakan persyaratan. Pada umumnya perjanjian multilateral merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional. Sebagai contoh Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Tahun 1963. Contoh lainnya, yaitu kebiasaan tentang ketentuan landas kontinen yang telah dipraktikkan oleh negara-negara yang kemudian dikokohkan dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1958. Namun ada juga suatu norma yang diwujudkan dalam suatu perjanjian internasional yang kemudian diikuti oleh negara-negara yang bukan peserta perjanjian dan kemudian ini dapat merupakan opinio juris dan proses ini dapat merupakan evolusi dari hukum kebiasaan hukum internasional yang dipraktikkan antara negara pihak perjanjian dan negara bukan pihak perjanjian. Proses ini juga mungkin terjadi bila perjanjian tersebut belum berlaku. Sebagai contoh ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea ditandatangani pada 10 Desember 1982, banyak ketentuan dalam konvensi yang merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional. Perundingan yang diadakan dalam rangka Konvensi Hukum Laut 1982 didasarkan pada konsensus, walaupun hasil akhir diputus berdasarkan pemungutan suara Konvensi Hukum Laut tersebut berlaku pada tahun 1994. Sebelum konvensi itu berlaku banyak ketentuan-ketentuan dalam konvensi yang diterima sebagai hukum kebiasaan internasional. Ada kemungkinan juga ketentuan-ketentuan dalam perjanjian bilateral, misalkan tentang Investasi dan Perlindungannya, dapat dalam keadaan tertentu menjadi Hukum Kebiasaan Dapat kami simpulkan kuatnya hubungan antara Hukum Kebiasaan Internasional dan Perjanjian Internasional. 8 Anthony Aust, hlm. 10. SINAR GRAFIKA Bab 3 ini terbagi dalam tiga seksi section berikut. a. Seksi 1 pembuatan perjanjian internasional Pasal 6–Pasal 18. b. Seksi 2 reservasi/reservation Pasal 19–Pasal 23. c. Seksi 3 berlakunya dan pelaksanaan perjanjian internasional/entry in to force and provisional application Pasal 24–25. A. PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Pasal 6 Capacity of states to conclude treaties Every State possesses capacity to conclude treaties Ketentuan ini menegaskan bahwa negara sebagai subjek hukum inter nasional mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian. Negara di sini diartikan sebagai negara yang berdaulat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tahap-tahap yang dilalui untuk pembuatan perjanjian internasional adalah – perundingan negotiation, – penandatanganan signature, dan – bila diperlukan ada tahap ratifikasi. Tahap perundingan biasanya didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian internasional, pendekatan-pendekatan ini dalam bahasa diplomatik disebut dengan lobbying. Lobbying Bab 3 PEMBUATAN DAN BERLAKUNYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL CONCLUSION AND ENTRY INTO FORCE OF TREATY SINAR GRAFIKA dapat dilakukan secara formal maupun secara non formal. Bila dalam lobbying telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka akan diadakan perundingan secara resmi. Perundingan resmi ini akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya untuk mengadakan perundingan, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya. Konvensi tahun 1969 ini menentukan tentang siapa yang berhak untuk mewakili negaranya. Hal ini ditentukan dalam Pasal 7. Pasal 7 Full powers 1 A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if a he produces appropriate full powers; or b it appears from the practice of the States concerned or from other circumstance that the intention was to consider that person as representing the state for such purposes and to dispence with full powers. 2 In virtue of their functions and without having to produce full powers the following are considered as representing their State a Heads of state, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs for the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty; b Heads of diplomatic missions for the purpose of adopting the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they are accredited; c Representatives accredited by State to international conference or to an international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 jelas menunjukkan bahwa yang berhak di-beri kan kewenangan penuh full powers pada seorang yang berhak mewakili negaranya dan merupakan pengamanan dasar sebagai wakil negaranya dalam melakukan tindakan-tindakan atas nama negaranya untuk berunding, menerima, dan mengesahkan suatu perjanjian. Pada saat permulaan perkembangannya, maka permintaan adanya full powers ini selalu diminta dalam mewakili negaranya, persyaratan ini masih tetap diperlukan dalam pembuatan perjanjian formal. Dalam SINAR GRAFIKA perkembangan modern banyak perjanjian yang dibuat kurang formal atau lebih sederhana maka full powers ini tidak diperlukan lagi. Pada era komunikasi belum canggih, saat itu full powers mempunyai arti yang penting. Pada zaman dulu, raja-raja dalam mengirim utusannya untuk berunding selalu melengkapi utusannya dengan full powers, karena wakil-wakil yang dikirim kesulitan mengadakan komunikasi dengan rajanya. Pada saat teknologi komunikasi telah canggih seperti saat ini maka utusan-utusan negara dengan mudah mengadakan konsultasi dengan negaranya. Utusan negara bila hendak mengadakan hubungan dengan pemerintahnya dapat melalui telepon, telex, email, dan cara-cara canggih lainnya. Setiap saat utusan negaranya dapat dengan mudah mengadakan hubungan dengan pemerintahnya, seperti melaporkan hasil perundingannya. Konvensi Wina tahun 1969 agaknya telah mengantisipasi masalah ini, sehingga pada Pasal 7 ayat 1b menentukan bahwa utusan suatu negara dapat dibebaskan dari kewajiban menunjukkan surat kuasanya bila hal tersebut telah menjadi praktik negara-negara yang berunding. Pada saat ini masalah full powers sudah dianggap tidak terlalu penting, disebabkan hal-hal 1. Berakhirnya monarchi absolute pada akhir abad ke-18, di mana ada kecenderungan mengadakan kontrol diplomatik terhadap politik luar negeri. Perkembangan ini terutama setelah revolusi Amerika dan revolusi Perancis, di mana negara-negara telah mempraktikkan ratifikasi untuk perjanjian yang dianggap penting bagi negaranya, meskipun para delegasi negaranya telah melaksanakan perundingan sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. 2. Meningkatkan peran komunikasi yang mempergunakan sarana elektronik, di mana mudah memonitor apakah delegasinya telah melaksanakan tugasnya dengan baik. 3. Adanya tendensi bahwa negara mengadakan perjanjian dengan cara yang sederhana, misalkan tukar-menukar suatu dokumen exchange of note. Perjanjian semacam ini tidak diperlukan full powers. Suatu anggota delegasi suatu negara bila akan mengikuti Sidang Umum PBB, menurut Pasal 27 Rules of Procedure of the General Assembly dilengkapi dengan credential atau surat kepercayaan, dan surat kepercayaan ini diserahkan 9 Sinclair, ibid., hlm. 28. SINAR GRAFIKA kepada Sekjen PBB sebelum sidang umum dimulai. Tidak diperlukan full powers untuk mengikuti sidang Majelis Umum PBB dapat dimengerti karena resolusi Majelis Umum PBB tidak memerlukan tanda tangan negara Indonesia dalam praktiknya memisahkan full powers dan credential, untuk menghadiri konferensi internasional delegasi RI dilengkapi dengan credential. Credential dikeluarkan untuk delegasi yang akan menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu perjanjian. Sedangkan full powers dikeluar-kan untuk memberi wewenang menandatangani perjanjian internasional. Baik credential maupun full powers dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri lihat Pasal 7 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional Nomor 24 Tahun 2000. Pemisahan antara full powers dan credential ini didasarkan pada praktik, bahwa kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian internasional perlu dipelajari dulu oleh instansi-instansi terkait, setelah itu baru ditandatangani. Oleh karena itu, full powers perlu dikeluarkan bila utusan negara dalam perundingan tersebut berhak menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional yang memerlukan surat kuasa Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Sedangkan surat kepercayaan credential untuk merundingkan dan/ atau menerima suatu perjanjian Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Dalam konferensi internasional tanda tangan untuk otentifikasi naskah tidak diperlukan full powers. Pasal 7 ayat 2 konvensi Wina Tahun 1969, memberikan perumusan pada tiga kategori orang-orang yang menurut hukum internasional dikategorikan sebagai pejabat yang dapat mewakili negaranya tanpa menunjukkan full powers. Untuk itu wakil dari negara lain harus mengakui kualifikasi orang tersebut dan menghormati nya tanpa meminta bukti. Pejabat-pejabat yang dianggap dapat mewakili negaranya adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Menteri Luar Negeri. Menteri Luar Negeri adalah sebagai orang istimewa yang mewa-kili negaranya dalam hubungan luar negeri. Kedudukan Menteri Luar Negeri sebagai pejabat yang dapat mengikatkan negaranya diakui oleh Mahkamah Internasional Permanen dalam status Greenland Timur sehubungan dengan IHLEN 10 BPHN, Naskah Akademi Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional, Tahun 1979–1980, hlm. 35. 11 Legal Status of Eastern Greenland PCIJ 1933, Series A/B Nomor 53, hlm. 71. SINAR GRAFIKA Kelompok kedua adalah kepala perwakilan yang mewakili negaranya, sebagai pejabat yang berhak mewakili negaranya dalam hubungan untuk membuat perjanjian internasional antara negara yang diwakili dengan negara di mana ia ditempatkan. Bila ini dihubungkan dengan Konvensi Diplomatik Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, Pasal 3 ayat 1c fungsi dari seorang diplomat di antaranya mengadakan perundingan dengan negara tuan rumah. Kewenangan diplomat dalam menjalankan fungsinya, dibatasi dalam hal-hal yang ditetapkan dalam hukum internasional. Kelompok ketiga adalah perwakilan negara yang diakreditasikan pada organisasi internasional atau perlengkapannya, fungsinya di antaranya untuk maksud menerima suatu teks perjanjian yang diadakan oleh organisasi inter-nasional tersebut. Pasal 8 Subsequent conformation of an act performed without authorization An act relating to the conclusion of a treaty performed by a person who cannot be considered under article 7 as authorized to represent a State for that purpose is without legal effect unless afterwards confirmed by that State. Pasal ini mengatur dalam hal perjanjian internasional yang dibuat oleh orang-orang yang tidak termasuk kelompok orang yang disebutkan dalam Pasal 7 maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang dari negaranya. 1. Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Sebelumnya telah dijelaskan tahap-tahap untuk membuat perjanjian inter-nasional adalah perundingan, penandatanganan, dan bila diperlukan dengan ratifikasi. Dalam tahap perundingan biasanya telah ada draf yang diajukan untuk dibicarakan. Dalam pembicaraan tadi timbullah usul-usul, amandemen, dan kontra amandemen. Jika ada kesepakatan maka disusunlah draf perjanjian oleh panitia perumus, tahap ini diikuti dengan tahap penerimaan naskah. Dalam perjanjian bilateral, penerimaan naskah secara bulat oleh para pihak akan mudah dicapai. Demikian pula pada perjanjian multilateral yang pihaknya tidak terlalu banyak terbatas, tidak sulit untuk mengambil keputusan dengan secara bulat. Namun dalam perjanjian internasional di mana pihaknya SINAR GRAFIKA mencapai jumlah yang besar, pengambilan keputusan dengan suara bulat akan sukar dicapai. Dalam praktik, para peserta konferensi menentukan sendiri cara pemungutan suara untuk penerimaan Penerimaan naskah harus dibedakan dengan pengesahan teks authenti-fication of the text. Bila draf telah diterima oleh para peserta, maka dilanjutkan dengan pengesahan. Dalam perjanjian multilateral, pengesahan ini didahului dengan penerimaan teks adoption of the text. Tahap selanjutnya wakil-wakil pihak yang ikut berunding akan membubuhkan paraf atau tanda tangan. Naskah tersebut merupakan naskah resmi dan tidak akan diubah lagi. Hal ini dapat pula dilakukan melalui penandatanganan ad referendum atau dengan memberikan paraf yang dilakukan oleh wakil-wakil negara, baik terhadap naskah perjanjiannya sendiri maupun terhadap akta final dari konferensi yang dijadikan satu dengan naskah perjanjian Mengenai adoption of the text diatur dalam Pasal 9. Pasal 9 Adoption of the text 1 The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing up except as provided to paragraph 2. 2 The adoption of the text of the treaty at an international conference takes place by the vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same mayority they shall decide to apply a different rule. Pasal 10 Authentification of the text The text of a treaty is established as authentic and definitive a by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or b failing such procedure, by the signature, signature ad referendum or initialling by the representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text. 12 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, tahun 2000, hlm. 107. 13 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta, PT Tatanusa, Indonesia, tahun 2008, hlm. 53. SINAR GRAFIKA Paraf dan tanda tangan dalam rangka otentifikasi belum mempunyai ikatan hukum di antara para pihak. Tindakan otentifikasi adalah suatu tindakan formal oleh para anggota bahwa naskah perjanjian telah diterima oleh para peserta konferensi dan dengan adanya otentifikasi tersebut naskah perjanjian tidak dapat diubah lagi. Dalam praktik kadang-kadang diterima bahwa tahap penerimaan teks dan otentifikasi teks dijadikan satu. Penggabungan kedua tindakan itu untuk efisiensi. Dalam hal wakil-wakil negara yang menghadiri konferensi juga diberi wewenang untuk menandatangani perjanjian tersebut, maka ketiga tahap, yaitu penerimaan naskah, otentifikasi, dan penandatanganan dapat dijadikan satu. 2. Persetujuan Negara untuk Mengikatkan Diri pada Perjanjian Internasional Jika proses pembuatan perjanjian internasional sampai pada taraf persetujuan negara untuk mengikatkan dirinya, maka kita akan menghadapi ketentuan yang diatur oleh ketentuan internasional dan ketentuan nasional. Hukum internasional hanya mengatur bagaimana cara suatu negara untuk terikat pada perjanjian internasional, sedangkan hukum nasional mengatur pejabat negara manakah yang berhak mengikatkan negaranya pada pihak lain dan bagaimanakah prosedur pengikatannya. Pasal 11 Means of expressing consent to be bound by a treaty The consent of States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed. Jadi menurut Pasal 11, pernyataan negara untuk terikat pada suatu perjan-jian internasional itu dapat dengan penandatanganan pertukaran instrumen yang melahirkan perjanjian, ratifikasi, penerimaan acceptance, persetujuan approval, atau aksesi acession atau dengan cara lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Cara pertama adalah penandatanganan. Suatu perjanjian yang biasanya tergolong perjanjian eksekutif executive agreements, maka perjanjian ini dapat berlaku setelah penandatanganan. Bila suatu perjanjian dapat berlaku setelah penandatanganan maka kesepakatan tersebut dapat dicantumkan pada perjanjian tersebut. SINAR GRAFIKA Pasal 12 mengatur suatu perjanjian yang berlaku setelah penandatanganan. Pasal 12 Consent to be bound by a treaty expressed by signature 1 The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when a the treaty provides that signature shall have that effect; b it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature should have that effect; or c the intention of the State to give that effect to the signature appears from powers of its representative or was expressed during the negotiation. 2 For the purpose of paragraph a the initialling of a text constitutes a signature of the treaty when it is established that the negotiating States so agreed; b the signature ad referendum of a treaty by representative, if confirmed by his State constitutes a full signature of the treaty. Jadi menurut Pasal 12 ayat 1, pernyataan terikat pada suatu perjanjian internasional dengan penandatanganan bila a perjanjian itu sendiri memutuskan bahwa penandatanganan mempunyai dampak untuk berlakunya suatu perjanjian internasional; b bila negara-negara yang ikut berunding terbukti menyetujui hal tersebut; c maksud dari negara-negara yang ikut berunding melalui wakil-wakil negaranya menyebutkan wewenang untuk mengikatkan negaranya dengan penanda tanganan atau dinyatakan dengan tegas pada saat berunding. Untuk melaksanakan Pasal 12 ayat 2 menyebutkan a suatu paraf yang tertuang dalam naskah perjanjian dapat diartikan sebagai penandatanganan bila hal tersebut ditentukan dalam perundingan bahwa negara-negara yang berunding menginginkan demikian; b penandatanganan secara ad referendum oleh wakil suatu negara yang berunding dapat diberikan, asal penandatanganan tersebut dikonfirmasikan kemudian oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal penandatanganan secara ad referendum itu maka berlakunya per janjian dapat sah saat perjanjian itu ditandatangani atau pada tanggal ditentukan dalam 14 Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi Per-janjian Internasional, BPHN dan Departemen Luar Negeri 1979–1980, hlm. 52. SINAR GRAFIKA Pernyataan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian biasa dinyatakan dengan pertukaran instrumen yang membuat suatu perjanjian. Pertukaran instrumen ini menyebabkan perjanjian itu berlaku bila a instrumen itu sendiri menetapkan bahwa pertukarannya mempunyai efek untuk berlakunya suatu perjanjian;
PemerintahRepublik Indonesia memandang perlu untuk ikut serta menjadi pihak di dalam konvensi beserta protokol tersebut." Dalam peraturan pemerintah ini secara tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang tercantum sebagai berikut : Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung. Likadja, Frans E. 1988dalamkeadaan apapun karena hal tersebut merupakan kewajiban mutlak negara penerima yang telah diatur di dalam Konvensi Wina 1963. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang membahas tentang konsepsi hukum dalam pendirian kantor perwakilan konsuler di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.MENINJAUPERAN UNHCR DALAM UPAYA MENUNTASKAN PERSOALAN PENGUNGSI SEBAGAI SUATU PROBLEM INTERNASIONAL Ridha Nikmatus Syahada NRT. Taruna Tingkat I Program Studi Hukum Keimigrasian Politeknik Imigrasi 2019 Email : ridhasyahada@ Arus pengungsi yang semakin membesar di berbagai belahan dunia pada dasarnya disebabkan oleh meningkatnya intensitas konflik bersenjata di Secaraumum dapat dikatakan, bahwa UU ini sudah lebih lengkap jika dibandingkan dengan Surat Presiden di atas. Akan tetapi, UU ini menyatukan antara perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986, padahal keduanya walaupun ada cukup banyak persamaan, juga ada perbedaannya.KonvensiWina telah mengaturnya. dalam Part V, Diplomatik Wina 1969 ini sudah melihat (2017), Hukum Organisasi Internasional Dalam Kerangka Study Analisis, Edisi Revisi, Palembang: Unsri Ketentuanmengenai suksesi negara dalam hukum internasional dapat dilihat dalam Venna Convention on Succession of state in respect of Teatles 1978 atau biasa disebut konvensi Wina 1978. Bentuk suksesi negara yang terdapat dalam konvensi wina 1978 antara lain sebagai berikut: Suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan ViennaConvention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional.Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan
DalamKonvensi Wina ini dijelaskan bahwa konferensi diadakan oleh atau dibawah naungan suatu organisasi internasional seperti yang dituliskan pada pasal 1 dan 2. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi ini adalah peraturan yang relevan dan tidak mempengaruhi perjanjian internasional yang sudah berlaku sebelumnya,
ሉዚጶктኖጁը зիс ሠишխሦ
Ρխ մед րዡռиρሳсрոз
Ущէхαβуц шуτоቡо իзве
dalamKonvensi Wina Tahun 1969, unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional yaitu: an international agreement, by subject of international law, in written form, government by international law, and inwhatever form. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga ditentukan mekanisme
.